Siapakah laki laki itu, yang karenanya Nabi yang mulia mendapat teguran dari langit dan menyebabkan beliau sakit ? Siapakah dia, yang karena peristiwanya Jibril Al Amin harus turun membisikkan wahyu Allah ke dalam hati nabi yang mulia.
Dia tiada lain adalah ‘ ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM’ Muadzin Rasulullah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum, orang Makkah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasululah saw, yakni anak paman Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid Ridhwa nullah ‘Alaiha. Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya ‘Atikah binti ‘Abdullah. Ibunya bergelar ” Ummi Maktum ” karena anaknya ‘Abdullah lahir dalam keadaan buta total. ‘Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya Islam mulai memancar di Makkah. Allah melapangkan dadanya menerima agama baru itu. Karena itu tidak diragukan lagi dia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam.
Sebagai muslim kelompok pertama, ‘Abdullah turut menanggung segala macam suka duka kaum muslimin di Makkah ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai tindakan kekerasan lainnya. Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu Ibnu ummi Maktum menyerah ? Tidak ! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan dia semakin teguh berpegang pada ajaran Islam dan kitabullah. Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majlis Rasulullah saw. Begitu rajinnya dia mendatangi majlis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al Quran, sehingga setiap waktu senggang selalu diisinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu direbutnya. Bahkan dia cukup ‘rewel’. Namun karena ‘rewel’nya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkannya dari Rasulullah, di samping keuntungan bagi yang lain juga.
Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, berharap semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahl, Umayyah bin Khalaf dan walid bin Mughirah, ayah saifullah Khalid bin walid. Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang agama Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau. Ketika Rasulullah sedang serius berunding, tiba-tiba ‘Abdullah bin Ummi Maktum datang ‘mengganggu’ minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al Qur’an. Kata ‘Abdullah, “Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepadamu!”. Rasul yang mulia terlengah untuk memperdulikan permintaan ‘Abdullah. Bahkan beliau agak acuh atas interupsi ‘Abdullah itu Lalu beliau membelakangi ‘Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pemimpin Quraisy tersebut. ‘Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar’, rasulullah berharap.
Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau :” Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya, tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS.’Abasa (80) : 1-16)
Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al Amin ke dalam hati rasulullah sehubungan dengan peristiwa ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi ‘Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilahkan duduk ditempat duduk beliau. Beliau tanyakan keadaannya dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan ‘Abdullah demikian rupa ; bukankah teguran dari langit itu sangat keras!.
Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan menjadi-jadi, Allah Ta’ala mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya hijrah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum bergegas meninggalkan tumpah darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama-sama Mush’ab bin Umar dan sahabat Rasul yang pertama-tama tiba di Madinah. Setibanya di Yatsrib (Madinah ), ‘Abdullah dan Mush’ab segera berdakwah, membacakan ayat ayat Quran dan mengajarkan pengajaran Islam. Dan setelah Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengangkat ‘Abdullah bin Ummi Maktum serta Bilal bin Rabah menjadi Muadzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimah tauhid lima kali sehari, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal adzan, maka ‘Abdullah qamat. Dan bila ‘Abdullah adzan, maka Bilal qamat.
Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal adzan tengah malam membangunkan kaum muslimin untuk sahur, dan ‘Abdullah adzan ketika fajar menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar menghentikan makam minum dan segala yang membatalkan puasa.
Untuk memuliakan ‘Abdullah bin Ummi Maktum, Rasulullah mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah menggantikan beliau, apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada Abdullah. Salah satu diantaranya, ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.
Setelah perang Badr, Allah menurunkan ayat-ayat Al Quran, mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fisabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada rasulullah,
“Ya, Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”
Kemudian dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannya cacat (udzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Dia senantiasa berdoa dengan segala kerendahan hati. Katanya, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang uzur seperti aku!”.
Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya, Zaid bin Tsabit sekretaris Rasulullah yang bertugas menuliskan wahyu menceritakan, “Aku duduk di samping Rasulullah. Tiba tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulislah, hai Zaid!”. Lalu aku menuliskan, ” Tidak sama orang orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fisabilillah…..” (QS. 4 : 95). Ibnu Ummi berdiri seraya berkata,
“Ya rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat?”). Selesai pertanyaan ‘Abdullah, rasulullah berdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, “Coba baca kembali yang telah engkau tulis!”. Aku membaca, ” Tidak sama orang orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) .” lalu kata beliau. Tulis! ” Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.” Maka turunlah pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum.
Meskipun Allah SWT telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang uzur seperti dia untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekat untuk turut berperang fisabilillah. Tekat itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Oleh karena itu dia sangat suka untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang. Katanya, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegang erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.
“Tahun keempat belas Hijriyah, Khalifah ‘Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang bertauhid. ‘Umar memerin tahkan kepada segenap Gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, ‘Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang-orang bersenjata, atau orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”. Maka berkumpulah di Madinah kaum Muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah ‘Umar. Diantara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Khalifah ‘Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada sa’ad. Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu. Pada hari ketiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka pindahlah keku asaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang termegah, maka berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala . Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid itu terdapat ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin. Radhiyallahu’anhu!!!! -
Dia tiada lain adalah ‘ ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM’ Muadzin Rasulullah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum, orang Makkah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasululah saw, yakni anak paman Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid Ridhwa nullah ‘Alaiha. Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya ‘Atikah binti ‘Abdullah. Ibunya bergelar ” Ummi Maktum ” karena anaknya ‘Abdullah lahir dalam keadaan buta total. ‘Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya Islam mulai memancar di Makkah. Allah melapangkan dadanya menerima agama baru itu. Karena itu tidak diragukan lagi dia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam.
Sebagai muslim kelompok pertama, ‘Abdullah turut menanggung segala macam suka duka kaum muslimin di Makkah ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai tindakan kekerasan lainnya. Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu Ibnu ummi Maktum menyerah ? Tidak ! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan dia semakin teguh berpegang pada ajaran Islam dan kitabullah. Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majlis Rasulullah saw. Begitu rajinnya dia mendatangi majlis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al Quran, sehingga setiap waktu senggang selalu diisinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu direbutnya. Bahkan dia cukup ‘rewel’. Namun karena ‘rewel’nya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkannya dari Rasulullah, di samping keuntungan bagi yang lain juga.
Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, berharap semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahl, Umayyah bin Khalaf dan walid bin Mughirah, ayah saifullah Khalid bin walid. Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang agama Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau. Ketika Rasulullah sedang serius berunding, tiba-tiba ‘Abdullah bin Ummi Maktum datang ‘mengganggu’ minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al Qur’an. Kata ‘Abdullah, “Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepadamu!”. Rasul yang mulia terlengah untuk memperdulikan permintaan ‘Abdullah. Bahkan beliau agak acuh atas interupsi ‘Abdullah itu Lalu beliau membelakangi ‘Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pemimpin Quraisy tersebut. ‘Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar’, rasulullah berharap.
Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau :” Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya, tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran-ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS.’Abasa (80) : 1-16)
Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al Amin ke dalam hati rasulullah sehubungan dengan peristiwa ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi ‘Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilahkan duduk ditempat duduk beliau. Beliau tanyakan keadaannya dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan ‘Abdullah demikian rupa ; bukankah teguran dari langit itu sangat keras!.
Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan menjadi-jadi, Allah Ta’ala mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya hijrah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum bergegas meninggalkan tumpah darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama-sama Mush’ab bin Umar dan sahabat Rasul yang pertama-tama tiba di Madinah. Setibanya di Yatsrib (Madinah ), ‘Abdullah dan Mush’ab segera berdakwah, membacakan ayat ayat Quran dan mengajarkan pengajaran Islam. Dan setelah Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengangkat ‘Abdullah bin Ummi Maktum serta Bilal bin Rabah menjadi Muadzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimah tauhid lima kali sehari, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal adzan, maka ‘Abdullah qamat. Dan bila ‘Abdullah adzan, maka Bilal qamat.
Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal adzan tengah malam membangunkan kaum muslimin untuk sahur, dan ‘Abdullah adzan ketika fajar menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar menghentikan makam minum dan segala yang membatalkan puasa.
Untuk memuliakan ‘Abdullah bin Ummi Maktum, Rasulullah mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah menggantikan beliau, apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada Abdullah. Salah satu diantaranya, ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.
Setelah perang Badr, Allah menurunkan ayat-ayat Al Quran, mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fisabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada rasulullah,
“Ya, Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”
Kemudian dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannya cacat (udzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Dia senantiasa berdoa dengan segala kerendahan hati. Katanya, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang uzur seperti aku!”.
Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya, Zaid bin Tsabit sekretaris Rasulullah yang bertugas menuliskan wahyu menceritakan, “Aku duduk di samping Rasulullah. Tiba tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulislah, hai Zaid!”. Lalu aku menuliskan, ” Tidak sama orang orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fisabilillah…..” (QS. 4 : 95). Ibnu Ummi berdiri seraya berkata,
“Ya rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat?”). Selesai pertanyaan ‘Abdullah, rasulullah berdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, “Coba baca kembali yang telah engkau tulis!”. Aku membaca, ” Tidak sama orang orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) .” lalu kata beliau. Tulis! ” Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.” Maka turunlah pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum.
Meskipun Allah SWT telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang uzur seperti dia untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekat untuk turut berperang fisabilillah. Tekat itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Oleh karena itu dia sangat suka untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang. Katanya, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memegang erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.
“Tahun keempat belas Hijriyah, Khalifah ‘Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang bertauhid. ‘Umar memerin tahkan kepada segenap Gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, ‘Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang-orang bersenjata, atau orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”. Maka berkumpulah di Madinah kaum Muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah ‘Umar. Diantara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Khalifah ‘Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada sa’ad. Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah. ‘Abdullah bin Ummi Maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu. Pada hari ketiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka pindahlah keku asaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang termegah, maka berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala . Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid itu terdapat ‘Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin. Radhiyallahu’anhu!!!! -
0 comments:
Posting Komentar